DWIKORA, TERGANYANG DI MALAYSIA
TERGANYANG DI MALAYSIA
Pesta untuk sang marinir telah usai
berjam-jam lalu. Dia tengah mengayuh sampan nelayan menembus garis
belakang pertahanan Malaysia di Tawao.
Sampan itu dipenuhi kepiting
untuk dijual. Siapa kira timbunan kepiting itu hanya kedok untuk
menutupi senjata. Setelah tiga hari mengayuh dan berhasil melewati
patroli kapal perang Inggris, sampan itu mendarat di pantai yang sepi di
sebelah utara Tawao, Sabah. Target pertama si marinir: menemui seorang
haji yang akan menjadi penghubung.
Sial! Haji itu ditangkap tentara Malaysia beberapa hari sebelumnya. Di penanggalan, tercatat waktu: Desember 1964.
Kenangan 42 tahun silam itu kembali berputar di kepala Pembantu
Letnan Satu (Purnawirawan) Manaor Nababan, 64 tahun, ketika menuturkan
nostalgia itu kepada Tempo, pekan lalu. Ia beruntung pulang dengan utuh
seusai konfrontasi Ganyang Malaysia. Tapi teman-temannya? Jangankan
nyawa, kerangka pun tidak. “Saya berat bicara soal ini,” ujarnya sembari
terisak.
Manaor adalah anggota intelijen tempur Korps Komando (KKO) Angkatan
Laut. Ia salah satu dari 30 marinir yang mendapat latihan intelijen di
Pulau Mandul, selatan Tarakan, Kalimantan Timur. Mereka disaring dari
sekitar 3.000 marinir yang bersiaga di perbatasan-menunggu titah untuk
mengganyang Malaysia.
Tugas pun datang kepadanya pada akhir 1964. Pria dari Dolok Sanggul,
Tapanuli, ini diperintahkan untuk memetakan posisi dan menghitung
kekuatan lawan di sekitar Tawao. Seorang anggota KKO lain dan satu
sukarelawan menemani Manaor. Mereka juga bertugas mencari tempat
pendaratan terbaik-di wilayah yang berstatus protektorat Inggris kala
itu.
Misi ini sejatinya one way ticket alias tak ada jaminan pulang dengan
selamat. Maka, “Malam sebelum berangkat, saya dipestakan. Kami
makan-makan dan diberi semangat,” kata bapak enam anak ini. “Barangkali
juga itu perpisahan.”
Manaor dan kedua rekannya berhasil menyusup ke Tawao. Namun karena
penghubungnya tertangkap, mereka masuk hutan. Dua bulan di belantara,
Hendrik-sukarelawan TNI bekas bajak laut-tertangkap saat berbelanja
makanan. Mereka tak berkutik ketika dikepung tentara Inggris dan
Malaysia.
Sebelum Manaor, sekitar empat kompi marinir berhasil menyusup hingga
ke Kalabakan, sekitar 50 kilometer di belakang perbatasan Sabah. Pasukan
kecil itu dipimpin dua anggota KKO paling disegani, Kopral Rebani dan
Kopral Subronto. Keduanya adalah anggota Ipam (Intai Para Ampibi,
sekarang disebut Detasemen Jalamangkara) dan sudah kenyang asam-bergaram
dalam aneka operasi tempur.
Pada 29 Desember 1963, unit kecil itu berhasil melumpuhkan pos
pertahanan tentara Malaysia di Kalabakan. Dalam sejarah militer
Malaysia, kejadian ini dikenang sebagai Peristiwa Kalabakan. Dari 41
anggota Rejimen Askar Melayu Diraja yang bersiaga di pos , 8 tewas dan
18 lainnya luka-luka. Salah satu yang mati adalah Mayor Zainal Abidin,
komandan kompi. Tapi ajal juga menghadang Rebani dan Subronto di saat
pulang.
Januari 1964. Di perairan Tawao, kapal patroli Inggris memergoki
rakit mereka. Haram untuk menyerah kepada Inggris. Di bawah bulan yang
sedang purnama, perang pecah: rakit versus kapal, senapan melawan
meriam. Rebani, Subronto, dan 22 anggota KKO gugur. Tiga tentara
berhasil meloloskan diri, yakni Kelasi Satu Rusli, Suwadi, dan Bakar,
dicokok pasukan Gurkha di pantai.
Saat ditangkap, mereka sedang mengumpulkan mayat rekan-rekannya yang
dapat diseret ke darat. Para Gurkha tak memberi mereka kesempatan untuk
menguburkannya. Jenazah dibiarkan tergeletak di pantai!
Adalah Rusli yang menyampaikan cerita itu kepada Manaor. Ia bertemu
Rusli sekilas saat keduanya diterbangkan dari kamp tawanan Jesselton
(Kinibalu) ke Johor Bahru, Semenanjung Malaysia, awal 1966.
Di Semenanjung, keduanya ditahan di tempat terpisah. Rusli dan 21
tentara yang dijatuhi hukuman 11-13 tahun dibui di Negeri Sembilan.
Manaor dikerangkeng di Detention Camp Johor. Sekitar 502 prajurit
Indonesia dari berbagai angkatan dikurung di sini untuk digantung karena
menjadi penceroboh (pengacau-Red).
Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang dikenal sebagai Dwi Komando
Rakyat resmi diumumkan oleh Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta,
3 Mei 1964. Muasalnya adalah upaya Inggris menggabungkan koloninya di
Kalimantan (Sabah, Serawak, dan Brunei) dengan Semenanjung Malaya pada
1961. Soekarno, yang menganggap Malaysia sebagai boneka Inggris,
memerintahkan tentara untuk menggagalkannya. Caranya, dengan membantu
perjuangan rakyat setempat.
Waktu itu sekitar seribu tentara dan sukarelawan menyusup ke
Malaysia. Jumlah ini tak sebanding dengan gembar-gembor pemerintah, yang
mengatakan ada 22 juta sukarelawan Front Nasional Ganyang Malaysia dan
sekitar 8.000 anggota TNI bersiap di perbatasan. Saat dilakukan
normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia pada Juni 1966, beberapa ratus
pejuang tinggal nama. Mereka tak pernah kembali, seperti kisah
Rebani-Subronto.
Manaor dan alumni Dwikora yang berhasil kembali hidup-hidup rupanya
punya cita-cita memulangkan kerangka kawan mereka ke Tanah Air. Sayang,
upaya yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun itu belum membuahkan
hasil. Belakangan, hasrat untuk membawa pulang kerangka-kerangka itu
makin menjadi. “Kami tak mungkin menunda lagi karena sudah tua,” kata
Kolonel Marinir (Purn.) W. Siswanto, 68 tahun, Ketua Ikatan Keluarga Eks
Tawanan Pejuang Dwikora.
Kini usia rata-rata pelaku pertempuran itu di atas 60 tahun-sudah di
tubir makam. Jika mereka meninggal, ingatan akan pertempuran yang mereka
alami akan ikut mati. “Ini menyulitkan identifikasi saat pemulangan
kerangka dilakukan,” ujar mantan Komandan Tim Brahma I Marinir di sektor
barat (Semenanjung Melayu) itu.
Maksudnya, kesaksian para alumni Dwikora dibutuhkan untuk
mengidentifikasi kerangka rekan-rekan mereka. Sebab, prajurit Indonesia
yang turut dalam operasi infiltrasi itu menggunakan nama-nama samaran
Melayu, tidak ada identitas Indonesia yang dibawa. Pangkat, seragam, dan
atribut yang dipakai umumnya milik Tentara Nasional Malaya.
Identifikasi kerangka jenazah bakal mudah jika pemulangan dilakukan
lebih cepat. Tapi, itu muskil. Bukan karena mereka terlupakan oleh
teman-teman seperjuangannya, “Namun karena situasi politik belum
memungkinkan,” kata Siswanto.
Berbeda dengan rekan-rekannya dari Resimen Pelopor (sekarang Brigade
Mobil) dan Angkatan Darat, nasib korban Dwikora dari KKO dan Pasukan
Gerak Cepat (PGT, sekarang Pasukan Khas TNI Angkatan Udara)
terlunta-lunta. Penyebabnya: kedua kesatuan dituduh terlibat
pemberontakan PKI.
Tahun 1990-an, ketika sebagian pelaku konfrontasi sudah berpangkat
dan menjadi pejabat teras kemiliteran, usaha mulai digulirkan. Saat itu
salah seorang tokoh eks Dwikora, Mayor Jenderal Marinir (Purn.) Mohamad
Anwar (almarhum), mengirimkan surat permintaan kepada Menko Polkam
Laksamana (Purn.) Sudomo. Permintaan tersebut ditanggapi positif dengan
pembentukan Tim Penelitian dan Inventarisasi Pemindahan Makam Pejuang
Dwikora oleh Menteri Sosial Haryati Subadio.
Pemimpin tim itu adalah Mayor Jenderal (Purn.) Rudjito (almarhum).
Hasil kerjanya segera terlihat. Ditemukan 168 prajurit dan sukarelawan
yang gugur di Malaysia. Pada masa Menteri Sosial Inten Soeweno dua tahun
kemudian, tim tetap dipertahankan dengan beberapa pembaharuan.
Tiba-tiba, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Mayor Jenderal
Sudibyo memerintahkan penghentian inventarisasi pada 6 Januari 1996.
Alasannya: upaya itu dikhawatirkan bakal merusak hubungan
Indonesia-Malaysia.
Reformasi membawa angin segar. Ratusan pensiunan prajurit rendah,
ditambah beberapa perwira menengah yang purnatugas, menghimpun diri
dalam Ikatan Keluarga Eks Tawanan Pejuang Dwikora tahun 1999. Mereka
menghidupkan kembali cita-cita memulangkan kerangka rekan-rekannya.
Ketua Ikatan Eks Tawanan Pejuang Dwikora saat itu, Kolonel Mar (Purn.)
Kadar Mulyono-kini almarhum-mengirim surat kepada Presiden Megawati pada
Januari 2003. Surat itu hingga kini tak berbalas.
Lelah menunggu, dua tahun kemudian para pejuang “mengadu” ke DPR.
Ketua DPR Agung Laksono menyatakan mendukung rencana pemulangan kerangka
prajurit eks Dwikora di Malaysia. Pada saat bersamaan, muncul tanggapan
positif dari Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. “Pak Menteri berjanji
akan melakukan koordinasi dengan pejabat terkait dan presiden,” kata
Siswanto. Lagi-lagi, janji tinggal janji.
Departemen Sosial belum melakukan langkah apa pun seperti dijanjikan
menterinya. “Dulu memang pernah dibentuk tim, tapi sekarang belum ada
koordinasi,” kata Toto Utomo, Direktur Kepahlawanan Departemen Sosial.
Toto menunjuk Departemen Pertahanan atau Markas Besar TNI yang berwenang
mengurusi soal tersebut. Apa kata Mabes TNI?
“Saya belum bisa berkomentar, karena baru dengar,” kata Laksamana Muda Sunarto Sjoekronoputra kepada Tempo, pekan lalu.
Kompleks makam di Kampung Kalabakan Lama, Sabah, tampak cukup
terawat, kecuali di beberapa gundukan tanah mirip kuburan. Konon itulah
makam Rabeni, Subronto, dan beberapa anak buahnya. Tanpa nisan, tanpa
nama.
Adalah sesepuh Tawao, Dato Mamun, yang mengidentifikasi makam itu
kepada Tempo. “Saya tahu dari mandor hutan yang ada di sana,” ujar
mantan warga negara Indonesia yang kini telah dinobatkan sebagai Sultan
Bulungan di Kalimantan Timur itu.
Tentara Indonesia yang gugur di Sebatik lebih beruntung. Jenazahnya
dibawa ke Tawao dan dikuburkan di pemakaman Melayu, Masjid Wilis.
“Kuburnya ada nisan, tapi tanpa nama,” ujar Dato Mamun. Polisi setempat
sempat memotret jenazah mereka sebelum dikubur, lalu didokumentasikan.
Maka, harapan untuk menginventarisasi dan memulangkan kerangka
pahlawan Dwikora sungguh bergantung pada Malaysia. Sayang, pemerintah
negeri jiran itu belum bersedia memberikan tanggapan. Sebabnya, “Kami
baru dengar kabar ini,” kata Hamidah binti Azhari, juru bicara Kedutaan
Malaysia di Jakarta.
Front Terpanjang
Medan perang itu berserak: di laut, di hutan, di sungai, membentang
2.000 kilometer dari Nunukan di Kalimantan Timur hingga Semenanjung
Malaya.
Front Malaka
Medan tempur dengan jumlah korban terbanyak bagi Indonesia.
Kekuatan: 1 brigade (3.500 personel).Gugur: 78; 18 tidak jelas
makamnya, 2 dimakamkan di Kalibata Hilang: 70 Ditawan: 217; ditahan di
Johor Bahru
Labis dan Pontian, Gugur: 6 PGT Ditawan: 123 PGT Makam: 6 PGT
Kuala Kelang, Ditawan: 19 AD Kota Tinggi Gugur: 25 Pelopor Ditawan: 55 Pelopor Makam: 25 Pelopor
Johor Bahru, Gugur: 27 PGT Makam: 27 PGT
Singapura, Gugur: 20 KKO Ditawan: 19 KKO, 1 Pasukan Katak
Penjara Johor Bahru, Kota Johor Kamp tawanan utama Pasukan Indonesia yang ditawan di Kinabalu dan Tawao diterbangkan ke penjara ini.
Front Kalimantan Timur
Pertempuran paling sengit di front Kalimantan terjadi pada 28 Juni
1965, ketika Korps Komando (KKO) Angkatan Laut memasuki perbatasan
Malaysia dari timur Pulau Sebatik. Kekuatan: 3.500 tentara (1 brigade) ,
Gugur: 15; 11 tak diketahui makamnya Hilang: 6; di laut dan hutan
Ditawan: 14; di kamp tahanan Tawao dan Ketayan
Brigade Barat, Panjang front: 1.000 km ,Kekuatan: 5.000 tentara (5 batalion: Inggris 1, Gurkha 3, Malaysia 1), 25 helikopter
Brigade Tengah, Panjang front: 500 km , Kekuatan: 2 batalion Gurkha, 12 helikopter
Brigade Timur, Panjang front: 130 km, Kekuatan: 1 batalion infanteri, pasukan komando, Angkatan Laut Persemakmuran
Nunukan, Ditawan: 7
Kalabakan, Gugur: 1 ,Ditawan: 5 Makam: 1
Pulau Sebatik, Gugur: 3 Makam: 2
Tawao, Ditawan: 2 Makam: 1
Penjara Intelijen Tawao Penjara Ketayan Jezelton, Kinabalu
Sumber : http://andiaras.wordpress.com/2010/12/01/dwikora-terganyang-di-malaysia/