Pak Harto DI MASA DWIKORA1
Pada tanggal 1 Mei 1963, saya diangkat
menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan
kembalilah saya dengan kesibukan rutin.
Sementara itu, situasi politik di dalam
negeri tambah tidak menentu. PKI menggusur-gusur partai-partai dan
ormas-ormas lainnya dengan menyatakan dirinya yang paling revolosuiner,
sedang yang lain, yang menentangnya ditunjuknya sebagai “kontra
revolusi”. Sedikit-sedikit tuduhan “kontra revolusi” itu terdengar dan
telunjuk ditudingkan kepada pihak-pihak yang tidak mau diseret oleh PKI
atau yang menentangnya. PKI meneriakkan “Yang tidak bersama kita adalah
musuh kita”. Maksudnya, yang tidak mengikuti langkah PKI adalah
lawannya”.
PKI terus mengipas-ngipas Bung Karno.
Dan orang-orang yang ada di sekitar Presiden itu tidak ada yang berani
menyampaikan pendapat mereka yang berlainan.
Gambaran politik waktu itu sudah jelas:
adanya perselisihan yang tajam antara Angkatan Darat, golongan Islam
yang anti komunis dan golongan nasionalis yang anti komunis di satu
pihak, dengan apa yang dinamakan golongan “progresif revolusioner” alias
PKI dan yang bisa disertakan dengan PKI di pihak lainnya.
Sementara itu saya sering risau karena
didatangi anak buah yang meminta pendapat dan penilaian saya. Juga
mereka menunjukkan tarikan muka seperti mendesak, ingin mendapat
keterangan mengapa saya diam. Saya jawab, “Saya tidak buta. Saya telah
melapor kepada atasan tentang keadaan. Situasi memang serius. Tetapi
saya tidak mendapat reaksi apa-apa. Apa lagi dapat saya lakukan lebih
dari itu ?”
Keadaan memang menekan sementara suasana
terasa pengap. Sampai-sampai pasa suatu ketika saya berfikir selintas
untuk berhenti saja dari kedinasan dan pindah tempat kerja, menjadi
supir taksi atau menjadi petani. Dalam setengah gurau, pernah saya
ceritakan pikiran selintas ini kepada teman. Tapi sahabat saya itu Cuma
menyambung senyum saya dengan tertawa, lalu membelokkan percakapan kami
kepada soal-soal yang ringan.
Tanggal 16 September 1963 terbentuklah Federasi Malaysia.
Presiden Soekarno yang sebelumnya telah
membuat langkah-langkah menghalang-halangi lahirnya negara bentukan baru
itu, sangat marah dengan kejadian ini dan menilainya sebagai suatu
pelanggaran terhadap kesepakatan yang sudah ditetapkan terdahulu.
Presiden Soekarno menganggap “Malaysia” ini sebagai proyek
neokolonialisme Inggris.
Berkenaan dengan itu kita patut menengok ke belakang.
Pada tahun 1962, terjadi pemberontakan
anti Malaysia di Brunei. Bung Karno melihat, pemberontakan itu patut
didukung. Pendiriannya berkenaan dengan ini adalah bahwa “Indonesia
selalu berjuang untuk membela hak penentuan nasib sendiri dari semua
bangsa di dunia”
Katanya lagi, “Gerilyawan dari Indonesia
menyokong pemberontakan di Brunei itu. Brunei telah menyokong revolusi
Indoensia di masa yang lalu dengan sukarelawan, makanan, dan uang.
Perdana Menteri dari pemerintahan pemberontakan itu, Azhari, pernah jadi
kapten pada TNI”.
Dalam proses ke arah pembentukan
“Malaysia” itu pernah dilaksanakan pertemuan-pertemuan puncak pemerintah
Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Presiden Soekarno pernah berunding
dengan Tengku Abdul Rachman Putera di Tokyo, di bulan Juni 1963.
Sebentar reda suhu politik berkenaan
dengan rencana pembentukan “Malaysia” itu. Tetapi kemudian Bung Karno
berteriak lagi karena PM Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen
mengenai pembentukan Federasi Malaysia satu bulan lebih setelah
pertemuan mereka berdua di Tokyo itu. Bung Karno menunjukkan
kekesalannya, dengan menyebutkan di depan umum, bahwa “Pemerintah
Indonesia telah dikentuti”. Bung Karno kelihatan ngambek benar
terhadap Tengku, karena ingat juga, bahwa Tengku adalah seorang yang
telah membantu pemberontakan-pemberontakan yang melawan Bung Karno
dengan membiarkan mereka tinggal dan berkeliaran di Malaya.
“Maphilindo”, yakni Malaysia, Filipina,
dan Indonesia, terdengar seolah-olah akan menyelesaikan persoalan.
Tetapi ternyata tidak mampu.
Sementara itu persoalan “Malaysia” ini sudah berada di tangan PBB.
Diplomasi terus berjalan.m Pertemuan
puncak dari tiga kepala negara, Malaya, Filipina dan Indonesia
dilangsungkan pada akhir Juli 1963 di Manila.
Pertemuan manila itu menghasilkan tiga
dokumen yang antara lain menyebutkan, bahwa ketiga kepala negara yang
berunding mufakat untuk meminta Sekjen PBB menyelidiki keinginan rakyat
di daerah-daerah yang akan dimaksukkan ke dalam Federasi Malaysia itu.
Indonesia dan Filipina menyambut baik bilamana keinginan rakyat telah
diselidiki oleh suatu otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu
Sekjen PBB atau wakilnya.
Sepulang dari Manila, Bung Karno bukan
menjadi cerah dan gembira. Tanggapan mengenai “Malaysia” itu malahan
mendorongnya supaya Indonesia lebih siaga. Tentunya pelbagai informasi
mengenai masalah ini masuk kepadanya dari pelbagai jurusan, diantaranya
dari PKI yang waktu itu sedang giat-giatnya menjalankan programnya,
antara lain dengan rencananya untuk membentuk “Angkatan ke-V” yang kami
tolak”.
Semula pembentukan Federasi Malaysia itu
akan dilakukan pada tanggal 31 Agustus 1963 di London. Tapi kemudian
rencana itu diundur. Dan kenyataan membuktikan, bahwa pada tanggal 16
September 1963, walaupun misi PBB belum menyampaikan hasil laporan
penyelidikannya mengenai kehendak rakyat di daerah-daerah yang akan
dimasukkan ke dalam yang disebut Malaysia itu, pembentukan Malaysia
tetap dilaksanakan.
Maka demonstrasi pun terjadi di Kuala
Lumpur terhadap Kedutaan Besar RI dan begitu juga di Jakarta terhadap
Kedutaan Besar Malaysia dan Inggris.
Sudah bisa diramalkan sebelumnya, bahwa
hal itu akan terjadi. Dan kenyataan menunjukkan lebih lagi. Sebab
kemudian, pada tanggal 17 September 1963 Pemerintah RI memutuskan
hubungan diplomatik dengan pemerintahan Kuala Lumpur.
Berkorbarlah api yang disulut sewaktu
Presiden Soekarno menyerukan Komando Pengganyangan Malaysia yang dikenal
dengan Dwi-Komando-Rakyat atau singkatannya “Dwikora”, dalam sebuah
apel besar Sukarelawan di Jakarta 3 Mei 1964. “Dwikora” itu menetapkan:
perhebat ketahanan Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan Revolusioner
rakyat Serawak dengan menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia.
Situasi terasa amat berbahaya. Di
wajtu-waktu yang meresahkan ini lahir anak kami yang keenam, seorang
perempuan, yang kami beri nama Siti Hutami Endang Adiningsih.
Kelahirannya pada tanggal 23 Agustus 1964 melewati operasi. Hari
kelahiran istri saya tanggal 23 Agustus 1923. Jadi pada ulang tahunnya
yang ke 41, hadiahnya operasi melahirkan anak kami yang keenam.
Ceritanya aneh tapi nyata. Pada waktu istri saya mengandung tua, saya
mengikuti latihan terjun payung.
Rupanya ada yang memberi tahu bahwa
latihan terjun payung itu berat, jungkir-balik, bisa menyangku di pohon,
dan lain sebagainya. Ternyata berita itu berpengaruh pada istri saya
dan bayi yang dikandungnya. Letak bayi sungsang. Dokter telah berusaha
membetulkan, tetapi kembali lagi sungsang. Untuk keselamatan ibu dan
bayi. Dokter memutuskan operasi. Setelah operasi berhasil, saya masih
sempat menyelesaikan latihan terjun payung karena tinggal terjun
terakhir, ialah pada malam hari. Semua latihan terjun dapat saya ikuti
dan dinyatakan lulus. Sebagai Panglima Kostrad, dengan selesainya
latihan terjun itu, saya dapat mengetahui dan merasakan suka duka
pasukan payung . Saya lebih siap menghadapi kemungkinan. Suasana
konfrontasi dengan Malaysia makin panas.
*
Maka dibentuklah komando dalam rangka
Dwikora itu. Panglimanya dipilih Omar Dhani. Rupanya mereka punya
keyakinan bahwa yang bisa memimpin perang bukan hanya Angkatan Darat,
tetapi juga angkatan lainnya. Karena itulah, maka pimpinannya
dipercayakan kepada Angkatan Udara.
Pada Tanggal 2 September 1964 ditetapkan
susunan Komando Siaga (KOGA) dengan panglimanya Laksamana (U) Omar
Dhani. Wakil panglimanya ialah Laksamana (L) Mulyadi dan Brigjen A.
Wiranatakusumah. Kepala stafnya Komodor (U) Leo Watimena.
Ternyata kemudian terjadi kekacauan. Dan saya dipanggil untuk menjadi Wakil Panglima dalam Komando bentukan baru.
Tanggal 28 Februari 1965, jadi setelah
lima bulan kemudian setelah dibentuknya KOGA, Presiden mengubah KOGA itu
dengan membentuk “Komando Mandala Siaga” (KOLAGA). Sekarang saya
diangkat menjadi Wakil Panglima I KOLAGA tiu sementara panglimanya tetap
bekas Panglima KOGA, Omar Dhani. Yang diangkat jadi Wakil Panglima II
ialah Laksamana (L) Mulyadi. Kepala stafnya tetap Leo Watimena yang
sudah jadi Laksda. (U). Ia didampingi oleh wakil Kepala Staf Brigjen A.
Satari.
Saya ingat, waktu itu baru saja
dijalankan operasi seperti pola “Trikora” dengan infiltrasi dan
menerjunkan pasukan dan sebagainya dengan pesawat. Tetapi infiltrasi itu
tidak ada yang berhasil, bahkan pesawatnya masuk laut. Dengan ini
terbukti bahwa melaksanakan tugas serupa “Trikora” itu tidak segampang
seperti dikira sementara orang.
Maka setelah saya diangkat jadi Wakil
Panglima KOLAGA, saya mengadakan perjalanan inspeksi ke daerah Indonesia
di bagian utara Kalimantan dan ke Sumatera Utara. Direncanakan dari
daerah-daerah itu akan dilancarkan serangan terhadap Malaysia, memenuhi
ketetapan Dwikora. Saya melihat berbagai hal yang tidak beres. Maka saya
mencoba membenahi keadaan yang kusut itu. Tetapi karena kegiatan
operasinya sedang berjalan, pola itu harus melanjut. Operasi infiltrasi
dengan penerjunan udara sudah gagal, tidak mungkin dilanjutkan. Karena
itu, saya ubah dengan pembentukan kantong-kantong lebih dulu, dengan
menghubungi orang-orang Malaysia yang pro Republik. Jalan yang paling
aman hanya dari punggung mereka. Dibangun pos komando gelap di Bangkok,
dengan jalur logistik lewat laut Jakarta-Bangkok. Team Ali Murtopo,
Ramly dan Benny Moerdani serta Sumendap yang ditugasi. Dan team ini pula
yang ditugasi untuk mengadakan kontak-kontak dengan Tun Abdul Razak, Gazali dan Des Alwi dalam menghentikan konfrontasi, setelah G.30.S./PKI digagalkan.
Dalam pada itu, PKI terus meningkatkan
agitasinya. Teriakan “Ganyang ini ! Ganyang itu! Ganyang setan Desa!
Ganyang setan kota” tak henti-hentinya.
Di pelbagai tempat terjadi keributan. Di
Kediri terjadi keributan, Seorang Kiai dan Imam dipukuli oleh
orang-orang PKI. Di bandar Bersy, Sumatera Utara, Peltu Sudjono
dikeroyok secara beramai-ramai oleh orang-orang PKI sampai meninggal.
PKI menuntut Nasakomisasi di segala
bidang. Lalu PKI menuntut Pembentukan “Angkatan ke-V”, yaitu buruh dan
tani dipersenjatai. Silsilahnya adalah, PM Chou En Lai menyarankan
kepada PKI untuk membentuk “Angkatan ke-V”. Waktu itu kita mengenal
empat angkatan disini, yakni Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Angkatan
Kepolisian. Chou En Lai menjanjjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara
Cuma-Cuma untuk pembentukan Angkatan ke-V itu.
Pimpinan Angkatan Darat dengan tegas
menolak tuntutan PKI itu. Begitu juga pimpinan Angkatan lainnya, kecuali
pimpinan AURI, Omar Dhani menyetujui.
Politik luar negeri
terus meluncur setelah putusnya hubungan diplomatik Jakarta-Kuala
Lumpur. Tetapi persoalan “Malaysia” tidak berhenti sampai di sana.
Sementara suntikan RRC masuk Indonesia, Malaysia berusaha untuk diterima
menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Para diplomat kita di New York dicambuk
untuk bekerja keras, supaya usaha Malaysia untuk bisa diterima sebagai
anggota Dewan Keamanan PBB itu gagal. Maka gebrakan pun yng dilakukan di
Jakarta diteruskan ke pusat PBB: “Jika PBB menerima Malaysia menjadi
anggota Dewan Keamanan, Indonesia akan keluar, Indonesia akan
meninggalkan PBB sekarang”.
Tetapi kondisi dan situasi PBB waktu itu menunjukkan kenyataan, menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan.
Tak selang lama, Presiden Soekarno
memutuskan, Indoensia keluar dari PBB, Menlu Subandrio dengan resmi
menyatakan sikap Indonesia seperti demikian pada tanggal 1 januari 1965.
Lalu PKI menghebus-hembuskan issue
tentang yang disebutnya “Dewan Jenderal” disertai dengan disiarkannya
apa yang disebut “Document Gilchrist”. Gilchrist adalah Duta Besar
Inggris yang waktu itu bertugas di Indonesia. Dan dokumen yang memakai
namanya itu dikatakan ditemukan di rumah Bill Palmer, di Puncak, waktu
rumah orang Amerika itu, importir film-film Amerika, di obrak abrik
Pemuda Rakyat.
Aidit mengemukakan masalah yang
disebutnya “Dewan Jenderal” itu. Subandrio membicarakannya. Sampai ke
telinga Presiden Soekarno yang kemudian menanyakan kepada Pangab Letjen
A. Yani. Presiden bertanya, “Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan
Darat yang katanya bertugas antara lain untuk melakukan
penilaian-penilaian terhadap kebijaksanaan yang telah saya gariskan?”.
Jenderal Yani menjawab, “Tidak benar, Pak. Yang ada ialah “Wanjakti”
(Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi), sebagai panitia untuk
mengurus jabatan dan kepangkatan Perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat”.
Lalu issue tentang “Dewan
Jenderal” itu dikembangkan, tentunya oleh Aidit, dengan menyebutkan,
bahwa “ada jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadap Pemimpin Besar
Revolusi”. Dan akhirnya menyebutkan, bahwa “Dewan Jenderal akan
mengadakan coup”.
Issue mengenai “Dewan Jenderal”
itu mencapai tingkat yang berkembang sekitar bulan Mei, Juni dan Juli,
serta mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.
Tanggal 4 Agustus 1964 Presiden jatuh
pingsan dan muntah-muntah. Kejadian ini dupanya menimbulkan pikiran yang
mendesak pada Aidit yang baru kembali dari perjalanannya ke Moskow dan
Peking, untuk mengadakan tindakan, yakni merebut kekuasaan. Ia salah
terka. Rupanya ia berfikir, lebih baik mendahului daripada didahului
oleh Angkatan Darat, seperti yang dibayangkannya sendiri. Maka
terjadilah malapetaka di negeri kita ini, berdasarkan pikiran-pikiran
mereka yang jahat itu.
Sumber : http://soeharto.co/di-masa-dwikora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar